PDM Kabupaten Gowa - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Gowa
.: Home > Artikel

Homepage

Urgensi Sejarah Dalam Upaya Membangun Bangsa

.: Home > Artikel > PDM
25 Juni 2016 07:07 WIB
Dibaca: 1211
Penulis : Basri B Mattayang (Ketua MPI PDM Gowa)

 

PENDAHULUAN
Gong reformasi telah ditabuh pada bulan Mei 1998 yang lalu, bersamaan dengan suaranya yang menggelegar dan mendayu-dayu terpetik harapan dari ± 200 juta manusia yang mendiami negeri ini berharap kiranya gong tersebut dapat mengeluarkan gema demokrasi, pemberantasan KKN, menghilangkan kemelaratan Sosial Serta berbagai harapan yang lain dan tentunya menjadi amanah bagi segenap tokoh-tokoh pengawal dan penabuh gong reformasi tersebut.
Namun belum separuh perjalanannya serta suaranya yang masih terngiang ditelinga ternyata reformasi diklaim nyaris kehilangan idealismenya sehingga apa yang menjadi agendanya pun belum secara rnaksimal terealisasi. Negeri yang aman, tenteram, damai, berwibawa, bebas KKn, Sistem pemerintahan yang jelas, berintegritas, disegani oleh negara lain serta dapat berdiri sendiri dari berbagai aspek tanpa interpensi negara lain gagal dibentuk oleh orde reformasi, dimana keamanan yang tak terjamin, ketentraman yang tak kunjung datang, KKN yang merajalela, sistem pemerintahan yang belum jelas, demokrasi yang kadang muncul kadang pula di pasung, ketergantungan terhadap negara lain, gonta ganti pemimpin nasional secara “prematur” dan lain sebagainya masih tetap menghiasi dan mengiringi gelegaran dan dayuan gong reformasi. Kembali reformasi “gagal” mengulang bentuk kejayaan Sriwijaya di abad VII dan Majapahit di abad XIV.
Dari asumsi tersebut diatas maka tidaklah salah kalau untuk saat ini masih ada orang yang mengatakan “orde baru dan reformasi serupa tapi tak sama” dalam pengertian lain sama wajah dan bentuknya namun beda dalam tempo peristiwanya. 
Putaran roda sejarah memang tidak akan mungkin terulang narnun tentulah bentuk dan kesamaan suatu peristiwa pasti berulang, kejayaan dan kemegahan Sriwijaya di abad VII dan Majapahit di abad XIV tentulah tidak akan terulang dalam waktu (tempo peristiwanya) aktor dan obyekya dimasa sekarang ini, namun bukan hal yang tidak mungkin bentuk dan kesamaan kejayaan kedua kerajaan masyur di dunia pada saat itu berulang dimasa sekarang dalam tempo, aktor dan obyek yang lain. Sebagai mana statement Nugroho Noto Susanto dalam hakekat sejarah dan metode sejarah mengatakan :
“ tetapi kalau kita mengatakan : “Sejarah berulang” maka yang kita maksudkan bukanlah kisah masa lampau yang berulang melainkan bentuk dari masa lampau itu yang berulang”(Nugroho, 1964:11)
 
SEJARAH SEBAGAI GURU DALAM KEHIDUPAN
Salah satu bentuk sejarah adalah bersifat edukatif (Husein Haikal, 2002:17) artinya secara substansial sejarah sebagai suatu peristiwa masa lampau yang benar-benar terjadi dalam bentuk lakon yang berbeda tentunya akan menjadi pelajaran yang berguna bagi kehidupan manusia sekarang menuju kehidupan yang akan datang namun tak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini masih terdapat orang-orang yang menafsirkan sejarah sebagai hanya peristiwa masa lampau tanpa melihat bahwa sejarah tersebut dapat juga ada pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang sebagaimana Ruslan Abdul Gani memberikan defenisi sejarah bahwa :
“Sejarah itu adalah satu ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan dimasa lampau, serta segala kejadian-kejadiannya dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedornan bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program dimasa depan“ (Hugiono, 1992:14)
 
Berangkat dari statement tersebut maka ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi, pertama penglihatan kemasa silam, kemudian kemasa sekarang dan akhimya kemasa yang akan datang dengan pengertian lain bahwa program yang akan dilaksanakan dimasa depan yang sementara direncanakan di masa sekarang tidak bisa lepas dari berbagai pengalamam masa lampau.
Karena itu sejarah masa lampau harus kita pelajari dengan berpijak kepada kenyataan-kenyataan perkembangan situasi sekarang dengan mencakupkan berbagai harapan-harapan yang berprespektif dimasa yang akan datang. Dalam hubungan ini sejarah mengajarkan bagaiman dalam situasi tertentu kita harus bertindak dengan sebaik-baiknya. Pemikiran inilah yang melatari dari ungkapan Historiya Magistra Vitae (sejarah menjadi guru kehidupan) yang pada dasarnya menjadi batu penjuru pernyataan Niccolo Machiavelli bahwa dengan membanding-bandingkan peristiwa dari masa lampau dan dan masa yang baru-baru saja berlalu kita dapat menimba ajaran-ajaran yang praktis (Poelingoman, 2002:12)
 
Dalam melalui perjalanan hidupnya suatu bangsa adalah laksana kelompok pendaki gunung, setiap kali mereka berhenti dan menengok kebelakang (William H. Dan Soeri Soeroto, 1984:75) yang selanjutnya pandangan dan pemikirannya diarahkan kedepan yakni tujuan yang ingin dicapai. Perjalanan yang mereka lalui mereka renungkan dalam berbagai interpretasi sambil menafsirkan perjalanan selanjutnya dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi baik itu berupa peluang ataupun hambatan - hambatan yang mungkin muncul sebagai penghalang perjalanan selanjutnya.
Dari berbagai uraian tersebut maka mungkin tidaklah terlalu berlebihan kalau saya mengatakan bahwa kalau mau tahu kesalahan kita, maka mau tidak mau harus belajar dari sejarah, kita dapat melihat kasus Aceh. Kalau mau tahu perasaan orang Aceh maka harus ditanyakan kepada orang Aceh. Bagaimana seandainya Yogyakarta dihilangkan hak istimewanya, marahkan orang yogyakarta walaupun kata istimewa tersebut tidaklah mernberikan keuntungan yang segnifikan. Bagaimana ketika perasaan orang-orang islam yang mengklaim komunitasnya sebagai penganut agama cinta damai dianggap teroris, bagaimana perasaan Kahar Muzakkar yang bersama-sama dengan pejuang lainnya ikut berjuang dalam merebut kemerdekaan yang kemudian dalam penentuan posisi strategis di TNI ia kurang diperhitungkan, serta berbagai kejadian-kejadian, dan pengalaman-pengalaman lain yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan-kebijakan selanjutnya.
 
PERANAN SEJARAH DALAM UPAYA MEMBANGUN BANGSA
Dari sejumlah fenomena dan problematika kebangsaan tersebut diatas dengan berbagai tawaran-tawarannya maka selanjumya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa peranan sejarah dalam upaya membangun bangsa kedepan.
Pada dasamya untuk membangun suatu tatanan bangsa yang ideal bagi negara kita sesungguhnya bangsa indonesia tidaklah kekurangan konsep. Begitu banyak konsep-konsep sistem tatanan pemerintahan masa lampau yang diwariskan oleh sejarah. Konsep-konsep yang ditinggalkan tersebut sangat beragam disesuaikan dengan pertimbangan baik dari segi ekologi, geografi maupun kebutuhan dan keinginan rnasyarakat masa itu. Misalnya konsep negara atau kerajaan Sriwijaya diabad VII dengan sistem negara maritin sesuai dengan letaknya yang stretegis di tepi selat malaka sehingga mampu menjadi wilayah perdagangan yang ramai diabad tersebut (Wijaya, 2000:54) adalah suatu konsep negara yang tentunya menarik untuk dikaji guna rnembangun konsep negara maritin Indonesia yang secara geografis lebih luas wilayah lautnya, demikian halnya pemersatuan nusantara oleh Pati Gajah Mada dalam pemerintahan Prabu Hayang Wuruk diabad XIV (Sukmono, 1983:71) yang menjaga wilayahnya dengan mengadakan hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga juga merupakan suatu konsep yang ideal dalam membangun bangsa Indonesia yang integritas. Serta konsep pemerintahan Ratu Simo dikerajaan Kaling sekitar tahun 674 (Wijaya 2000:51) yang memerintah dengan prinsip kejujuran dan keadilan siapapun yang bersalah apakah ia rakyat, pejabat atau bahkan keluarga raja harus mendapat hukuman yang setimpal, adalah konsep pernerintahan yang sangat cocok di Indonesia yang merupakan negara hukum dan masih banyak lagi contoh-contoh peristiwa yang telah dilakonkan oleh sejarah dimasa lampau yang mencerminkan bentuk membangun bangsa yang adil, tenteram, konsisten dan demokratis.
Namun suatu masalah yang kemudian timbul sekarang adalah perasaan risih, enggan dan bahkan “malas” untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah masa lampau yang muncul hanyalah pandangan dan hayalan jauh kedepan tanpa mau menengok kebelakang serta pikiran yang jauh menerobos angkasa namun tak mau memjkirkan dan rnelihat bumi yang ia pijak.
Akhirnya melalui tulisan sederhana ini saya ingin memberikan suatu gagasan marilah ditengah bangsa Indonesia mengalami krisis pemerintahan dalam membangun tatanan pemerintahan yang demokratis kita munculkan keinginan untuk mengkaji kembali tatanan pemerintahan tradisional yang monarki dan dipandang bermuatan unsur-unsur demokratis.
Sesungguhnya gagasan ini menunjuk bahwa untuk mengkaji sejarah dalam membangun tatanan pemerintahau yang lebih baik dan jika perlu konsep demokrasi yang diserap itu diberi nuansa budaya politik tradisional yang dipandang tetap memadai, sebagai ilustrasi dapat dikaji pemerintahan tradisional monarkhi di Sulawesi Selatan yang meskipun raja dipilih dan diangkat dari Putra Mahkota (Anak Patola) namun tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Segala keputusan dan kebijaksanaan harus Iebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Hadat yang anggotanya adalah kepala pemerintahan daerah, bahkan penobatannya pun diawali dengan ikrar yang pada intinya mengatur hubungan antara raja dan rakyat yang mengatur antara hak dan kewajiban. Raja tidak boleh mengambil milik rakyat secara semena-mena ia dapat minta apa yang patut diminta, ia harus menukar apa yang harus ditukarkan dan harus memberi yang wajib diberi, intinya antara raja dan rakyat ada hubungan yang harmonis seperti yang terdapat dalam Aru-nya perang Gowa :
“IKAU JE’NE KARAENG (engkau ibarat air, karaeng) NAIKAMBE BATANG MANMANYU (dan aku ibarat batang kayu) SOLONGKO JE’NE (mengalirlah wahai air) NAMAN MANYU BATANG KAYU (kurela hanyut bersamamu)” (SYAHRUL YASIN LIMPO Dkk, 1995:XIV)
 
Namun patut diperhatikan bahwa pengkajian sejarah sepatutnya juga mengkaji hal-hal yang tidak patut dipertahankan atau patut tidak diulangi apabila peristiwa itu dibarengi dengan kelakuan yang tidak diinginkan. Dalam banyak kasus pengkajian sejarah perjuangan bangsa kurang memperhatikan hal-hal dan perilaku yang seharusnya diungkapkan untuk menyadarkan untuk tidak terantuk lagi pada batu antukan yang sama, lagi-lagi pada posisi seperti itu sejarah kembali menjadi pelajaran yang berharga dalam menjalani bahtera kehidupan sekarang dalam rangka rnenempuh hidup dimasa datang.
 
KESIMPULAN
Dari pembahasan singkat tersebut diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa dari segala bentuk problematika kebangsaan yang melanda bumi pertiwi ini pada dasamya lahir dari kurang adanya keinginan untuk rnenggapai kembali segala peristiwa masa lampau guna dijadikan sebagai konsep dasar dalam membangun bangsa dan Negara tercinta ini.
Olehnya itu sudah seharusnya sekarang kita mengambil hikmah dari segala problematika tersebut dengan memunculkan keinginan untuk menggali kembali knasanah sejarah masa lampau yang ternyata banyak rnenyisakan pelajaran-pelejaran berharga dalam membangun negara Republik Indonesia yang ideal dan dari situlah akan nampak bagaimana peran sejarah dalam membangun bangsa dan negara ini.
DAFTAR BACAAN
Haikal, Husain, Prof Dr. 2002. Majalah Gerbang. Yogyakarta. Umy
Hugiono, 1992. Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta, Aneka Cipta
Noto Susanto, Nugroho. 1964. Hakikat Sejarah dan Asas Metode Sejarah. Jakarta Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.
Poelinggoman, Edward. 2002. Makalah Seminar Nasional IKAHIMSI DI Auditorium Amanagappa UNM
Soekmono. 1983. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II. Jakarta. Kanisius
William, Soeroto, Soeri. 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta. LP3ES
Yasin Limpo, Syahrul. 1995. Sejarah Budaya dan Peristiwa Gowa. Sungguminasa. Pemda Tk II Gowa

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Sejarah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website